Manusia sebagai makhluk Otonom menurut Konsep Islam (Materi 5)
Nama : Afifah
Jurusan :D3 Desain Komunikasi Visual/2016
Nim : 1602071008
Manusia sebagai Makhluk Otonom dalam konsep Islam
Awal Penciptaan Manusia
1. Ayat Al-Qur’an surat As-Sajadah: 7-9
الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ
شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ الْإِنسَانِ مِن طِينٍ -٧- ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ
مِن سُلَالَةٍ مِّن مَّاء مَّهِينٍ -٨- ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِن
رُّوحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ قَلِيلاً مَّا
تَشْكُرُونَ -٩-
Artinya:
Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan
sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah {7}. Kemudian Dia
menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani){8}. Kemudian Dia
menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)-Nya dan Dia
menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, (tetapi) kamu sedikit
sekali bersyukur {9}.[8]
2. Penjelasan Kata
a. (وَبَدَأَ خَلْقَ
الْإِنسَانِ مِن طِينٍ) Wa
Bada’a Khalqal Insaana min Thiin: Yakni
memulai penciptaan Adam as dari tanah liat.
b. (مِن سُلَالَةٍ مِّن مَّاء
مَّهِينٍ) Min
Sulaalatin mim Maa’in Mahiin: Yakni
menciptakan keturunan Adam dari segumpal darah yang berasal dari air mani.
c. (ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ
فِيهِ مِن رُّوحِهِ) Tsumma
Sawwaahu wa Nufikha fiihi mir Ruuhih:
Yaitu mengadakan janin di dalam perut ibunya, dan ditiupkan ke dalamnya ruh,
maka ia menjadi hidup. Sebagaimana juga dahulu Dia menciptakan Adam dan
ditiupkan ke dalam tubuh Adam ruh-Nya sehingga dia menjadi hidup.
d. (وَالْأَفْئِدَةَ) Wal ‘af’idah: Hati.
e. (قَلِيلاً مَّا تَشْكُرُونَ) Qaliilan maa Tasykuruun:
Mereka tidak bersyukur kepada Allah atas nikmat diciptakannya mereka kecuali
hanya sedikit saja.[9]
3. Tafsir Ayat
Allah SWT yang mengatur segala urusan dan
Maha Pencipta itu serta yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, Dialah yang membuat sebaik-baiknya segala
sesuatu yang Dia ciptakan sehingga
semua berpotensi berfungsi sebaik mungkin sesuai dengan tujuan penciptaannya dan Dia telah memulai penciptaan
manusia yakni Adam asdari
tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari sedikit sari pati air maniyang diremehkan bila dilihat kadarnya atau
menjijikkan bila dipandang, atau lemah, tidak berdaya karena sedikitnya.
Kemudian yang
lebih hebat dari itu Dia
menyempurnakan dan meniupkan ke dalam tubuh-nya
ruh (ciptaan)-Nya dan setelah
kelahirannya di muka bumi Dia
menjadikan bagi kamu wahai
manusia pendengaran agar kamu dapat mendengar
kebenaran dan penglihatan agar kamu dapat melihat
tanda-tanda kebesaran Allah dan
hati agar kamu dapat
berfikir, dan beriman, tetapi sedikit
sekali kamu bersyukur dan
banyak di antara kamu yang kufur. Yakni kamu tidak memfungsikan
anugerah-anugerah itu sebagaimana yang Allah kehendaki, tetapi memfungsikannya
untuk hal-hal yang bertentangan dengan kehendak-Nya.
a. Kata (أحسن)ahsana berarti membuat sesuatu menjadi baik. Kebaikannya diukur
pada potensi dan kesiapannya secara sempurna mengemban fungsi yang dituntut
darinya. Allah SWT telah menciptakan semua ciptaannya dalam keadaan yang baik,
yakni diciptakan-Nya secara sempurnya agar masing-masing dapat berfungsi
sebagaimana yang dikehendaki-Nya.
b. Kata (سلالة) sulalah terambil dari
kata (سل)sala yang antara lain berartimengambil, mencabut. Kata ini mengandung makna sedikit, sehingga kata sulalahberarti mengambil
sedikit atau sari pati air mani yang memancar itu.
c. Kata (مهين)mahin jika
disandangkan kepada orang, berarti lemah.
Kata itu juga dapat berarti sedikit. Dengan demikian, min ma’in mahin berarti ‘air yang sedikit dan
lemah’. Selain itu, kata mahana juga terbentuk dari huruf-huruf
yang sama dari kata “mahin” juga berarti “memerah susu” sehingga
dapat dipahami pendapat sementara ulama yang memahaminya dalam air air yang memancar atau air yang sedikit, karena susu yang keluar dari
perahan biasanya memancar dan sedikit.
d. Kata (سواه)sawwahu/menyempurnakannya mengisaratkan
proses lebih lanjut dari kejadian manusia setelah terbentuk organ-organnya. Ini
serupa dengan ahsan taqwin. Dalam QS Al-Infithar: 7 disebut
tiga proses pokok penciptaan. Tahap pertama mengisyaratkan pembentukan
organ-organ tubuh secara umum, tahap kedua adalah tahap penghalusan dan
penyempurnaan organ-organ itu, dan tahap ketiga adalah tahapan peniupan ruh
Ilahi, yang menjadikan manusia memiliki potensi untuk tampil seimbang, memiliki
kecenderungan kepada keadilan.
e. Kata (من
روحه)min ruhihi secara harfiah berarti dari
ruh-Nya yakni ruh Allah. Ini
bukan berarti ada “bagian” Ilahi yang dianugerahkan kepada manusia. Karena
Allah tidak terbagi, tidak juga terdiri dari unsur-unsur. Dia adalah shamad tidak terbagi dan tidak terbilang.
Yang dimaksud adalah ruh ciptaan-Nya. Penisbahan ruh itu kepada Allah adalah
penisbahan pemuliaan dan
penghormatan. Ayat ini
bagaikan berkata: Dia
meniupkan ke dalamnya ruh yang mulia dan terhormat dari (ciptaan)-Nya.
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah memulai
penciptaan manusia dari tanah. Menurut Sayyid Quthub, ini dapat juga dipahami
dalam arti tanah adalah permulaan atau tahapannya yang pertama. Ayat ini tidak
menjelaskan berapa tahap yang dilalui manusia sesudah tahap tanah itu, tidak
juga dijelaskan berapa jauh dan berapa lamanya.
Karena terbuat dari tanah, manusia
dipengaruhi oleh kekuatan alam, sama halnya dengan makhluk-makhluk hidup di
bumi lainnya. Ia butuh makan, minum, hubungan seks, dan lain-lain. Dengan ruh,
ia meningkat dari dimensi kebutuhan tanah itu, walau ia tidak dapat bahkan
tidak boleh melepaskannya, karena tanah adalah bagian dari substansi
kejadiannya. Ruh pun memiliki kebutuhan-kebutuhan agar dapat menghiasi manusia.
Dengan ruh, manusia diantar menuju tujuan
non materi yang tidak dapat diukur di laboratorium, tidak juga dikenal oleh
alam materi. Dimensi spiritual inilah yang mengantar manusia untuk cenderung
kepada keindahan, pengorbanan, kesetiaan, pemujaan, dll.
Demikian manusia yang diciptakan Allah
disempurnakan ciptaan-Nya dan dihembuskan kepadanya ruh ciptaan-Nya.[10]
Kata al-insan disebut sebanyak 65 kali dalam
al-Quran. Hampir semua ayat yang menyebut manusia dengan kata insan, konteksnya
selalu menampilkan manusia sebagai makhluk istimewa, secara moral maupun
spiritual. Keistimewaan itu tidak dimiliki oleh makhluk
lain. Jalaludin Rahmat memberi penjabaran al-insan secara
luas pada tiga kategori. Pertama, al-insan dihubungkan dengan
keistimewaan manusia sebagai khalifah dan pemikul amanah. Kedua, al-insan dikaitkan
dengan predisposisinegatif yang inheren dan laten pada
diri manusia. Ketiga, al-insan disebut dalam hubungannya dengan
proses penciptaan manusia. Kecuali kategori ketiga, semua konteks al-insan
menunjuk pada sifat-sifat psikologis atau spiritual.
Kategori pertama dapat difahami melalui empat penjelasan
sebagai berikut :
1. Manusia dipandang
sebagai makhluk unggulan atau puncak penciptaan Tuhan. Keunggulannya terletak
pada wujud kejadiannya sebagai makhluk yang diciptakan dengan sebaik-baik
penciptaan[18].
Manusia juga disebut sebagai makhluk yang dipilih Tuhan[19] untuk
mengemban tugas kekhalifahan di muka bumi.[20]
2. Manusia adalah
satu-satunya makhluk yang dipercaya Tuhan untuk mengemban amanah[21],
suatu beban sekaligus tanggung jawabnya sebagai makhluk yang dipercaya dan
diberi mandat untuk mengelola bumi. Menurut Fazlurrahman amanah yang
dimaksud terkait dengan fungsi kreatif manusia untuk menemukan hukum alam,
menguasainya (dalam bahasa al-Quran mengetahui nama-nama semua benda), dan
kemudian menggunakannya dengan insiatif moral untuk menciptakan tatanan dunia
yang lebih baik[22].
Sedangkan menurut Thabathaba’i amanah dimaknai sebagai predisposisi
positif (isti’dad) untuk beriman dan mentaati Allah. Dengan kata lain
manusia didisposisikan sebagai pemikul al-wilayah al-Ilahiyah[23].
Amanah inilah yang dalam ayat-ayat lain disebut sebagai
perjanjian primordial atau perenial.
Secara metaforis perjanjian itu digambarkan dalam QS. Al-A’raf : 172
:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ
ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ
بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi
(tulang belulang) anak cucu Adam keturunan mereka, dan Allah mengambil
kesaksian terhadap ruh mereka (seraya berfirman) : Bukankah Aku ini Tuhanmu?.
Kami bersaksi”
(QS.al-A’raf : 172)
3. Merupakan konsekuensi
dari tugas berat sebagai khalifah dan pemikul amanah, manusia dibekali dengan
akal kreatif yang melahirkan nalar kreatif sehingga manusia memiliki kemampuan
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan[24].
Karena itu berkali-kali kata al-insan dihubungkan dengan perintah melakukan
nadzar (pengamatan, perenungan, pemikiran, analisa) dalam rangka
menunjukkan kualitas pemikiran rasional dan kesadaran khusus yang
dimilikinya[25].
Tugas kekhalifahan dan amanah juga membawa konsekuensi bahwa
al-insan dibebani atau dihubungkan dengan konsep tanggung jawab[26] untuk
melakukan yang terbaik. Manusia diwasiatkan agar berbuat baik[27] karena
setiap amal perbuatannya dicatat dengan cermat dan mendapat balasan setimpal[28].
Dan dalam rangka ini, manusia diingatkan dengan sejumlah tantangan karena
insanlah yang dimusuhi syetan[29] dan
ditentukan nasibnya di hari kiamat[30].
4. Dalam mengabdi kepada
Allah manusia (al-insan) sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan kondisi
psikologisnya. Jika ditimpa musibah ia selalu menyebut nama Allah. Sebaliknya
jika mendapat keberuntungan dan kesuksesan hidup cenderung sombong, takabbur,
dan musyrik.[31]
Kategori kedua al-insan dikaitkan
dengan predisposisi negatif pada dirinya, dijelaskan dalam al-Quran
bahwa manusia itu cenderung berbuat zalim dan kufur, tergesa-gesa, bakhil,
bodoh, banyak membantah dan suka berdebat tentang hal-hal yang sepele
sekalipun, resah gelisah dan enggan membantu orang lain, ditakdirkan untuk
bersusah payah dan menderita, ingkar dan enggan berterima kasih kepada Tuhan,
suka berbuat dosa dan meragukan hari akhirat[32].
Sifat-sifat manusia pada pada kategori kedua ini bila
dihubungkan dengan sifat-sifat manusia pada kategori pertama, memberi
kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk yang paradoksal, yang berjuang
mengatasi konflik dan kekuatan yang saling bertentangan ; tarik menarik antara
mengikuti fitrah (memikul amanah dan menjadi khalifah) dan mengikuti nafsu
negatif dan merusak. Kedua kekuatan itu digambarkan dalam asal usul kejadian
manusia yang dalam bahasa Yusuf Qardawi baina qabdhat al-tin wa nafkhat
al-ruh.
tentang nikmat Allah
- Nikmat Fitriyah.Nikmat Fitriyah adalah nikmat yang ada pada diri kita atau personal kita. Misal: Allah memberikan kita hidup ini, tangan, kaki, wajah yang menawan, mata, telinga dan anggota tubuh yang lain. Ini wajib kita syukuri. Dan janganlah angkuh seandainya kita diberikan rupa yang menarik. Syukurilah bahwa itu nikat yang diberikan oleh Allah semata-mata untuk hak-hal kebaikan.
- Nikmat Ikhtiyariyah.Nikmat ini berupa nikmat yang kita peroleh atas usaha kita. Misalnya: Harta yang banyak, Kedudukan yang tinggi, Ilmu yang banyak, Pengaruh yang besar, Posisi, Jabatan, Tanah, Mobil dan lain-lain yang kita peroleh atas usaha kita. Nikmat ini harus kita syukuri. Sedekahkan harta yang kita miliki dan pergunakan ke jalan yang diridhoi Allah. Jika menjadi pemimpin dengan jabatan yang tinggi, jangan kita salah gunakan jabatan tersebut, karena itu semua akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT.
- Nikmat Alamah.Nikmat alam sekitar kita. Kita tidak bisa hidup jika Allah tidak memberikan nikmat alamiah ini. Misalnya: Air, Udara, Tanah dan lain-lain. Mari kita syukuri semua ini dengan menjaga alam ini dari kerusakan. Menjaga udara dari pencemaran, banyak-banyak menanam pohon dan lain-lain.
- Nikmat Diiniyah.Nikmat Diiniyah adalah nikmat Agama Islam. Nikmat Iman. Bayangkan jika kita terlahir bukan dari rahim seorang muslimah? Mungkin saat ini kita menjadi kafir. Maka syukurilah nikmat-nikmat diin yang diberikan Allah kepada kita dengan menjalankan perintah-perintah agama serta menjauhi larangan Allah SWT.
- Nikmat Ukhrowiyah.Nikmat Ukhrowi adalah nikmat akhirat. Nikamt inilah yang akan kita petik nanti jika telah dihisab di yaumil mahsyar. Nikmat ini tergantung dari apa yang kita perbuat didunia ini. Jika semua nikmat diatas telah kita terima dan kita syukuri dengan baik, maka nikmat ukhrowi ini yang akan kita dapatkan dan rasakan jika nanti sudah di alam akhirat.
Harus kita sadari bahwa hidup didunia ini hanyalah sementara. Ada batas waktu yang telah ditentukan Allah dan jika telah tiba waktunya kita semua akan mati. Begitu juga nikmat yang diberikan Allah adalah bukan milik kita melainkan titpan semata. Maka sudah sepantasnyalah kita menjaga dan bersyukur atas “titipan” itu karena suatu saat itu semua akan dikembalikan kepada Allah SWT. [yherdiansyah/islampos]
Sumber : https://www.facebook.com/permalink.php?id=161211160625333&story_fbid=409417502471363
0 komentar